Rabu, 21 September 2022

Perubahan kerja dan kearifan lokal giliyang

Pulau Gili Iyang, Sumenep, Madura/ Sumber: rri.co.id

perubahan kerja dan kearifan lokal pulau giliyang yang mulai pudar

Oleh: Rendi 

Sumenep adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur pulau Madura, dan terkenal dengan julukan "kota keris", selain itu kabupaten tersebut memiliki 125 pulau, diantaranya pulau Kangean, sapekken, Sepudi, Raas, Gili Labak,Gili genting , Masalembu, dan lain-lain, tapi ada satu pulau yang unik dan menarik dari segi namanya, yaitu pulau giliyang, yang dikenal mempunyai kadar oksigen terbaik nomor 2 sedunia setelah kawasan laut mati di Yordania.

Asal usul nama pulau giliyang ini sangatlah unik, ada dua nama dan makna yang berbeda, pertama: "giliyang" adalah pemberian dari nenek moyang yang mempunyai arti "orang gila", Karena konon pulau ini dijadikan tempat pembuangannya orang gila, yang kedua adalah “Gila Elang” atau biasa disebut “Polo Elang” yang memiliki arti (pulau yang hilang), kerena menurut cerita masyarakat pada zaman penjajahan Belanda pulau ini adalah pulau unik yang tidak ditemukan secara kasat mata atau hilang, sementara pulau-pulau lainnya telah ditemukan oleh pasukan tentara Belanda.

Pembabat pertama pulau ini ada dua tokoh yang saya ketahui, pertama, "ju'tarona" (andang taruna), dalam buku Hazanah pitutur sesepuh giliyang: beliau berasal dari daerah binangko tepatnya di daerah Sulawesi selatan. Ia datang ke Giliyang menjelang abad ketujuh yaitu sekitar tahun 1668 M, Tokoh yang kedua yaitu "to' daeng"(Daeng Karaeng Masalleh), beliau berasal dari daerah Bugis Makassar, selebihnya (baca khazanah pitutur sesepuh giliyang).

Secara ekonomi, dulunya mata pencaharian penduduk pulau giliyang mayoritas petani dan nelayan, Sesuai dengan dengungan "asapo' angin abantal omba' " (berselimut angin, berbantal ombak), pekerjaan laut cukup menyenangkan walupun dalam pendapatannya lebih rendah dari pekerjaan lain, tetapi penduduk Sana tetap bangga dalam mejalani karirnya sebagai pelaut dan bisa menikmati indahnya pemandangan laut. namun, sekitar tahun 2015 hal itu mulai pudar, penduduk sana mulai terbuka fikirannya bahwa sorang nelayan itu sangat besar resikonya jika kemudian terjadi apa-apa di tengah laut lepas dia akan mati dan tidak bisa bertemu dengan anak dan istrinya, mereka mulai mencari pekerjaan/penghasilan lain. rata rata penduduk sana sekarang bekerja di sektor informal, sebagai pemilik warung kelontong, ada juga yang sekedar jadi penjaga atau penggati dari pemilik warung tersebut ketika ingin mudik, adapun kota kota  incaran mereka untuk membuka warung kelontong adalah Jakarta, Bali, dan akhir akhir ini Jogja, dengan adanya perubahan kerja penduduk pulau giliyang ini, dari segi bangunanpun yang dulunya sederhana saja, sekedar 5 miter dinding rumahnya bahkan ada yang "tabing" (anyaman bambu yang tipis), namun sekarang sudah mentereng dengan berbagai arsitektur kekinian yang berdiri tegak di pinggir jalan maupun pedalaman, 

Pengaruh perantauan semacam ini tentu sangat signifikan, bukan hanya terhadap segi bangunan atau ekonomi saja, akan tetapi terhadap kebudayaan pulau giliyang , ada banyak kebudayaan yang masih dilestarikan di pulau tersebut, seperti gaway (pesta pernikahan), rokat tase' (upacara orang nelayan), dll. Hal itu terlaksana lebih  meriah lagi, bahkan didalam kebudayaan gaway itu sendiri punya selogan "Mon nangghe' lodrok tape tadhe' tayubbhe, lambenna Ngakan adhe' chuko'na" (kalau suatu gaway ada hiburan ketopraknya tapi gak ada hiburan sindennya, sama halnya dengan orang makan tanpa lauk). Besarnya perolehan amplop, beras, uang dan lain sebagainya yang di istilahkan dengan kata (tompangan) bisa sampai 800 juta hingga tak terbatas, dan ini merupakan bentuk "Nyangkole Otang" (mewariskan hutang) ke anak cucunya yang mungkin tidak terbayar hingga tiga generasi.

Rasa solidaritas masyarakat giliyang sangat tinggi dan masih bertahan hingga saat ini apalagi yang ada di perantauan , mereka saling bahu-membahu dalam menjalin keberlangsungan hidup yang bergantungan, silaturrahim tetap terjaga meskipun ada di kota-kota besar yang mana kalau kita amati khusunya penduduk kota adalah penduduk yang cenderung akan kehidupan individal. Sikap dan perilaku masyarakat kota tidak sama sekali menciderai kebiasaan masyarakat giliyang khususnya perantauan.

Namun, yang sangat miris kemudian jika melihat dari sisi pendidikan, pendidikan di pulau ini dianggap tidak penting lagi karena pengaruh besar dari perubahan kerja begitu derastis, mereka lebih cenderung memandang harta dari pada masa depan bangsa, sejak lulus SMP/ MTs atau SMA/SMK  pemuda dan pemudi sana sudah dikenalkan dengan dunia perantauan yang secara ekonomi lebih menguntungkan, dan apabila ada anak yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi malah di ejek dan dipanas-panasi dengan perkataan untuk apa sekolah wong pada akhirnya jadi penjaga toko kelontong, gak ada gunanya kale S1, S2 dan D3, kalau pada akhirnya jaga toko kelontong juga, 

Dengungan semacam itu tidak patut kiranya dijadikan sebagai patokan / prinsip hidup anak muda, dan kita harus respect dengan segala sesuatu yang sekiranya mengganggu di benak kita, dalam prespektif saya pribadi, perkataan semacam tadi merupakan sebuah motivasi besar bagi pemuda dan pemudi untuk bagaimana sungguh-sungguh dan tidak sia-sia dalam menuntut ilmu pengetahuan,  

Dan pada akhirnya bisa mencicipi manisnya ilmu pengetahuan itu sendiri (sukses), kerena sebagian penduduk sana juga mengatakan: "Mon asakola jhe' ghung-tangghung, petetti pongghebe sakale" (kalo mau sekolah jangan tanggung-tanggung, harus bisa jadi PNS sekalian), jadi dengungan diatas tadi, juga bisa dikatakan sebagai bentuk tantangan bagi anak-anak muda sana untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tidak hanya membuang waktu sembarangan melainkan digunakan untuk belajar sungguh-sungguh. 

Dulu , ada istila "langgar" (surau) di pulau giliyang yang menjadi tempat pertama kali bagi anak-anak sana belajar ngaji Al-Qur'an, sebelum masuk sekolah atau pesantren, anak-anak sana sudah dikenalkan degan yang paling dasar yaitu "langgar", yang merupakan pendidikan dasar khususnya di MADURA, berbicara langgar, saya peribadi teringat dengan masa lalu saya yang indah, habis shalat Maghrib berjamaah anak-anak langsung membetuk lingkaran untuk persiapan belajar ngaji Al-Qur'an dan ketika sudah ada sang guru anak-anak mulai mendekat satu persatu untuk belajar ngaji Al-Qur'an mulai dari "lep-alebhen" (huruf hijaiya) hingga lancar dalam membaca Al-quran. Tidak hanya itu, tapi sang guru juga mengajari ilmu tajwid, hingga  "pola tengka" ( adab dan etika) dalam mengaji.

Dan ketika sudah selesai ngaji Al-Qur'an anak-anak mulai siap-siap untuk mengikuti shalat isya' berjamaah, kebiasaan anak, mereka shalat berjamaah sambil injak kaki temen di sampingnya, kadang di iringi tawa dan cengengesan yang ditahan agar sang guru tidak mendengar, tapi bukannya sang guru tidak tahu apa yang dilakukan anak-anak ketika shalat berjamaah berlangsung, beliau gak merasa bosan mengingatkan muridnya setelah shalat berjamaah agar tidak bercanda dan tidak juga batal shalatnya, maka beliau mengajarkan tata cara shalat yang benar dan sempurna.

Sehabis shalat berjamaah isya', anak-anak tidak beranjak pulang ke rumah melainkan mereka menginap di "langgar" (surau) dan mulai berkumpul santai-santai sambil canda tawa,ada juga yang main peta umpet, terkadang kalau ada anak yang nakal dia mencari buah mangga dan lainya sambil mengendap-edap tanda dia bersalah, karena sasarannya milik tetangga langgar, seru bukan..? dan apa bila ada salah satu anak yang pulang tidak menginap di langgar, dia akan di ledek "ghik nyoso"(masih netek) kepada ibunya, dan ledekan semacam itu tentunya menjadi motivasi besar bagi anak-anak untuk menginap di langgar, dan mulai belajar jadi anak mandiri,

Namun, di era digital saat ini,teradisi menginap di langgar sudah mengalami dekadensi yang signifikan, anak-anak sana mulai jauh dari langgar meskipun sebagian ada juga yang masih ngaji di tempat semacam itu, tetapi tidak menginap seperti halnya anak zaman dulu, dikarenakan munculnya alat-alat baru seperti smartphone dan lain-lain, dan itu menjadi salah satu penyebab yang luar biasa terhadap kearifan lokal pulau giliyang, saya pribadi turut kasihan terhadap anak-anak yang belum merasakan pahit manisnya menginap di langgar, mereka masih fakum dalam menjalani hidup yang mandiri beda halnya dengan anak-anak dahulu yang semua pengalaman di alaminya, saya berharap khususnya terhadap anak-anak muda pulau giliyang masih berusaha paya dan kompak dalam mempertahankan kearifan lokal semacam ini (langgar), Karena ini merupakan tempat awal dimana anak-anak di latih untuk hidup yang mandiri.


"Mungkin itu sekilas oret-oretan saya yang jauh dari kata sempurna, ada banyak kekurangan yang masih belum di perbaiki, mungkin ada keritik dan saran dari teman-teman Monggo dengan senang hati, apa lagi yang ada di pulau banget di tunggu keritik dan sarannya"





 

Minggu, 04 September 2022

Perjalanan Mahasiswa Baru (MABA)


SEMENJAK AWAL MASUK KULIAH

Berawal setelah saya lulus dari MAS Aqidah Usymuni, pandian-sumenep 2022. Semula saya bingung mau masuk ke universitas mana, dan takut menghadapi tes-tesan, dan ketepatan pada pertengahan bulan februari saya diajak sahabat saya untuk ikut seleksi nasional masuk perguruan tinggi atau lebih dikenal SNMPTN dengan syarat siswa yang ingin ikut seleksi tersebut harus mempunyai akun LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi) saya ikuti alurnya dan pada akhirnya saya dinyatakan lulus di universitas Trunojoyo Madura yang memang jadi sebuah angan-angan saya sejak di bangku MA.

Waktu terus berputar, bulan terus berganti, dan ketepatan Pada tanggal 31 Juli 2022 saya sebagai seorang diri dari pulau terpencil memberanikan diri untuk pergi, dan berpisah dengan keluarga sekaligus kampung halaman, dengan tujuan untuk kuliah di universitas Trunojoyo Madura, setelah saya sampai disana khususnya di daerah telang, saya kebingungan untuk tinggal dimana akan tetapi mengaca terhadap seluruh MABA 2022 mayoritas dia tinggal di kost-kosan dan ada juga yg tinggal di asrama, sedangkan saya masih belum ketemu kost-kosan, tetapi saya tetap berusaha mencarinya dan pada akhirnya ketemu juga di daerah Cendana/ gang graha Trunojoyo. sesudah itu pada tanggal 1 Agustus sudah mau dilaksanakan yang namanya PKKMB sakera 22/ ospek, dengan rasa penasaran dan merupakan kewajiban bagi seluruh MABA, saya ikuti kegiatan itu mulai sejak tanggal ditetapkan hingga selesai, kegiatan tersebut berlangsung selama 3 hari, 

Dalam kegiatan PKKMB sakera 22/ ospek itu, saya banyak menyerap beberapa poin penting bagi seluruh mahasiswa, diantaranya: kedisiplinan, rasa toleransi, solidaritas yang tinggi hingga kenal-mengenal sesama MABA dan yang paling susah bagi saya adalah untuk beradaptasi sesama temen, itu menjadi sebuah persoalan bagi saya pribadi dan alhamdulilah dengan rasa solidaritas yang mulai tumbuh dari kepribadian saya, sudah mampu beradaptasi dengan mereka(MABA).

Setelah selesai pkkmbsakera 22/ ospek, saya mulai legah denga semua penugasan, tidak tahu kalo ke esokan harinya masih ada ospek fakultas yang mana saya sendiri ketinggalan informasi karena lambat masuk grub fakultas,
Ospek fakultaspun juga sama pelaksanaannya dengan yang pkkmb sakera hanya saja pesertanya mulai sedikit ketimbang yang "sakera" , jumlah keseluruhan MABA 22 universitas Trunojoyo Madura sekitar 5,240
Dan itu terpisah setelah terlaksana ospek fakultas masing-masing, adapun pelaksanaan ospek fakultas lebih kejam pendisiplinanya dari pada yang univ, dikarenakan pesertanya lebih sedikit,sempat terbesit di benak saya bahwasanya ospek ini kapan selesai...?setelah ospek ini, ada ospek ini dan seterusnya dan yang terakhir adalah ospek prodi yang lebih profesional lagi dari ospek-ospek sebelumnya ,kegiatan ospek prodi ini berlangsung selama 2 hari dengan penugasan yang amat ruwet hingga saya hampir setres, tetapi ada satu hal yang saya ingat bahkan menjadi kenangan yaitu menganalisis masyarakat daerah kampus, guna untuk mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat khususnya di daerah telang,kecamatan kamal, kabupaten Bangkalan. sesuai dengan apa yang tertera dalam tri fungsi mahasiswa, bahwasanya mahasiswa berperan sebagai agen pengontrol kehidupan sosial di masyarakat (agen off social control) yang mana itu merupakan kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk selalu mengamati masyarakat setempat.

Ingin Menjadi seorang mahasiswa tak segampang membolak-balikkan tangan, akan tetapi butuh perjuangan dan kesabaran,prinsip yang kokoh, sifat kemandirian, lebih-lebih mempunyai mental yang kuat, dan tidak gampang tergoyahkan oleh ejekan-ejekan seseorang,apalagi perjalanan seorang MABA banyak sekali tantangan yang perlu dihadapi, salah satunya seperti yang saya jelaskan diatas tadi butuh rasa solidaritas yang tinggi untuk bisa beradaptasi dengan pemuda-pemudi negri.

Dan Awal masuk kuliah ini bisa juga disebut sebagai masa-masa transisi, yang dimana perubahan dari masa sekolah ke kuliah perlu dilakukan penyesuaian diri. Biasanya di sekolah memakai pakaian seragam, sekarang memakai pakaian bebas dan diberikan peluang untuk berekspresi bagaimanapun tetapi harustetap menjaga kesopanan dalam segi berpakaian. Dahulu jaman sekolah disebut siswa, kini disebutnya mahasiswa. Begitu juga dengan pengajarnya yang biasanya saya panggil beliau dengan sebutan guru, tetapi sekarang saya memanggilnya dosen atau prof. Kesan pertama saat diajar oleh dosen, beliau terlihat lebih santai dalam memberikan materi tidak sama halnya dengan guru sewaktu MA . Tetapi tetap saja tugas yang diberikan dosen sama seperti saya di waktu sekolah, yaitu tugas individu atau tugas kelompok yang harus dikumpulkan tepat waktu. 

Sabtu, 03 September 2022

puisi akrostik


"KOPI"
Oleh:rendi
 
  Kuingin mencicipi
  Olahan kopi manismu
  perlahan-lahan, sambil menyaksikan
  Irama bintang yang merayu bulan

                            
                      Sumenep 26-septeber-2021
                                    Pangkal becak

gabut


*MALAM RESAH* 

Oleh:rendi

Desir membungkam,
Korok meledak
Di setiap insan yang berbeda

Ayunan seruling kecil menyela resah
Mengganggu insan tak berdaya
Menyuntik, menghisap dan bersorak gembira,

Jarum kecil menari
Menghampiri setiap angkanya yang berbeda,
Aku gundah menatap lentera bisu berkedib dan menggelap,
membuatku tersungkur kaku dalam kegelapan.



 _Sumenep_13-maret-2021__ 
   _Lentera padam_

senja

SENJA YANG LUKA  Karya: Rendi Apa kabar kau hari ini Apakah baik nan bahagia Apakah marah atau murka, kulihat ratapan dan senyummu mulai ber...